[CERPEN] Di Antara Senyap dan Suara Maria Callas

diratama
7 Min Read
[CERPEN] Di Antara Senyap dan Suara Maria Callas (Ilustrasi)

Bagian 1: Suara yang Hilang

Di dalam lorong-lorong gelap kota yang tak pernah tidur, suara Maria Callas mengalun lembut dari sebuah gramofon tua di sudut kafe. Cahaya lampu neon berkedip-kedip, memantulkan bayang-bayang aneh di dinding yang penuh coretan. Di tempat inilah, seorang pria bernama Arman duduk termenung, merenungi kehidupannya yang semakin terpuruk.

“Seandainya aku bisa hidup dalam suara Maria Callas,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Ia memandangi secangkir kopi yang sudah dingin di depannya, lalu menghela napas panjang. “Tapi aku bahkan tak punya uang untuk membayar secangkir kopi ini.”

Di sampingnya, seorang wanita berambut merah duduk sambil memainkan rokoknya. Namanya adalah Lisa, pelayan kafe yang sudah mengenal Arman cukup lama. Mereka sering berbicara tentang mimpi-mimpi yang tak terjangkau, tentang harapan yang pudar, dan tentang suara-suara yang hilang.

“Arman, kau tahu kalau mimpi itu gratis, kan?” kata Lisa, memecah keheningan. “Kita hanya perlu menutup mata dan mendengarkan suara-suara di dalam kepala kita.”

Arman tersenyum pahit. “Tapi mimpi tak bisa mengisi perut kosong, Lisa. Dan suara Maria Callas tak bisa membayar tagihan.”

Lisa menatapnya dengan penuh simpati. “Mungkin, tapi kadang-kadang suara itu bisa memberi kita kekuatan untuk bertahan. Kau pernah berpikir untuk mencari pekerjaan baru?”

Arman menggeleng. “Sudah berkali-kali aku mencoba, tapi sepertinya keberuntungan tidak pernah berpihak padaku.”

Bagian 2: Perjalanan dalam Mimpi

Malam itu, setelah meninggalkan kafe, Arman berjalan tanpa tujuan di sepanjang jalanan kota yang sepi. Angin malam berhembus dingin, menggigit kulitnya. Ia menyusuri lorong-lorong sempit yang penuh dengan sampah dan bau tidak sedap, hingga tiba di sebuah bangunan tua yang hampir runtuh. Di dalam bangunan itu, ia menemukan sebuah gramofon tua yang terlupakan di pojokan ruangan.

Dengan hati-hati, Arman menyentuh gramofon itu. Suara gesekan jarum pada piringan hitam mulai mengalun, dan seketika itu juga, suara Maria Callas memenuhi ruangan. Arman menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam melodi yang indah dan menyayat hati.

Tanpa disadari, ia terjatuh ke dalam mimpi yang aneh dan penuh warna. Dalam mimpi itu, Arman melihat dirinya berada di atas panggung besar, dikelilingi oleh cahaya gemerlap dan ribuan penonton yang bertepuk tangan. Di sampingnya, Maria Callas berdiri, mengenakan gaun megah berwarna merah menyala.

“Arman,” suara Maria Callas terdengar lembut, namun tegas. “Hidup ini adalah sebuah panggung besar, dan kita semua adalah pemerannya. Kau harus menemukan suaramu sendiri.”

“Aku ingin hidup dalam suara seperti milikmu,” kata Arman, suaranya bergetar. “Tapi aku tak tahu bagaimana caranya.”

Maria Callas tersenyum. “Kau harus percaya pada dirimu sendiri. Suaramu adalah bagian dari dirimu. Temukan kekuatan itu di dalam hatimu.”

Bagian 3: Kembali ke Realitas

Arman terbangun dengan perasaan aneh di dalam dadanya. Suara Maria Callas masih terngiang-ngiang di telinganya. Ia memandang sekeliling ruangan yang kosong dan dingin, lalu beranjak pergi. Di luar, langit mulai memerah, pertanda fajar akan segera tiba.

Di sebuah toko kecil, Arman melihat papan pengumuman yang menawarkan pekerjaan sebagai penyanyi di sebuah bar lokal. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam toko dan bertanya kepada pemiliknya.

“Apakah lowongan penyanyi itu masih ada?” tanyanya dengan penuh harap.

Pemilik toko, seorang pria tua dengan rambut beruban, mengangguk. “Ya, tapi kau harus audisi dulu. Bisa nyanyi?”

Arman mengangguk. “Aku bisa mencoba.”

Bagian 4: Audisi dan Harapan

Di bar yang remang-remang, Arman berdiri di atas panggung kecil dengan mikrofon di tangannya. Beberapa penonton duduk di kursi, menunggu dengan penuh antisipasi. Arman menutup matanya, mengingat nasihat Maria Callas dalam mimpinya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bernyanyi.

Suara Arman mengalun lembut, mengisi ruangan dengan melodi yang menyentuh hati. Penonton terpaku, terpesona oleh kekuatan suaranya. Saat lagu berakhir, tepuk tangan bergema memenuhi ruangan. Arman merasa hatinya hangat, seolah-olah ia telah menemukan bagian dari dirinya yang hilang.

Pemilik bar mendekatinya dengan senyum lebar. “Kau luar biasa! Kau diterima. Mulai besok, kau bisa tampil di sini setiap malam.”

Arman mengangguk, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. “Terima kasih, ini benar-benar berarti bagi saya.”

Bagian 5: Hidup dalam Suara

Malam demi malam, Arman tampil di atas panggung, menyanyikan lagu-lagu yang mengalir dari hatinya. Setiap kali ia bernyanyi, ia merasa seolah-olah Maria Callas ada di sampingnya, memberinya kekuatan dan inspirasi. Suaranya semakin kuat, semakin penuh emosi.

Di antara penonton, Lisa sering datang untuk mendengarkan. Ia bangga melihat perubahan pada Arman. “Kau menemukan suaramu, Arman,” katanya suatu malam setelah pertunjukan. “Kau sekarang hidup dalam suara yang kau impikan.”

Arman tersenyum. “Ya, dan aku berhutang semua ini pada nasihatmu dan suara Maria Callas.”

Lisa mengangguk. “Hidup ini memang penuh dengan keajaiban, jika kita mau mendengarkan dan percaya.”

Bagian 6: Penemuan Baru

Suatu malam, setelah penampilannya, Arman bertemu dengan seorang produser musik terkenal yang terkesan dengan suaranya. “Kau memiliki bakat yang luar biasa,” kata produser itu. “Aku ingin menawarkan kontrak rekaman untukmu.”

Arman tak bisa mempercayai keberuntungannya. “Terima kasih, ini benar-benar mimpi yang jadi kenyataan.”

Produser itu tersenyum. “Aku yakin kau akan sukses besar. Suaramu memiliki kekuatan yang bisa menyentuh banyak orang.”

Bagian 7: Akhir dari Perjalanan

Dengan kontrak rekaman di tangannya, Arman merasa hidupnya berubah total. Ia tak lagi hidup dalam bayang-bayang kesulitan dan kemiskinan. Suaranya yang dulu tersembunyi kini menjadi alat untuk mencapai impian dan harapannya.

Dalam perjalanannya, ia selalu mengingat kata-kata Maria Callas: “Hidup ini adalah sebuah panggung besar, dan kita semua adalah pemerannya.” Dan kini, Arman berdiri di panggung itu, menemukan kekuatannya dalam suara yang ia temukan di dalam hatinya.

Di tengah tepuk tangan meriah dari penonton, Arman menutup matanya dan mendengarkan suara Maria Callas yang masih mengalun dalam pikirannya. Ia tahu bahwa selama ia memiliki suara itu, ia akan selalu menemukan jalan menuju impian dan harapannya.***

Share This Article
Pecinta Bahasa yang Elegan dan Santun, Menyukai Sastra dan Hal-hal Unik.