[CERPEN] Daun Maple yang Gugur

diratama
11 Min Read
[CERPEN] Daun Maple yang Gugur (Ilustrasi)

Suara langkah-langkah kecil terdengar bergema di lorong panjang rumah sakit. Dalam kesunyian yang memeluk, suara itu berdenyut, mengingatkan akan bisikan-bisikan yang tersembunyi di balik dinding-dinding putih.

Di sebuah kamar, seorang perempuan bernama Tabah terbaring, tubuhnya yang ringkih terbaring di atas ranjang putih. Matanya menatap langit-langit, seolah mencoba menangkap bayang-bayang yang tak terlihat.

“Tabah, kau harus kuat,” bisik Ibu dengan lembut, wajahnya menyimpan kepedihan yang terbungkus senyum.

Tabah mengangguk perlahan, meskipun hatinya dipenuhi rasa takut. Ia merasa seperti daun maple yang jatuh dari ranting, terombang-ambing oleh angin, tak tahu ke mana harus mendarat.

Ketika sore tiba, langit berwarna jingga memudar menjadi gelap. Di luar jendela, pohon-pohon maple yang berdiri tegak mulai menggugurkan daunnya, satu per satu jatuh seperti tangisan sunyi. Tabah menatap daun-daun itu dengan mata yang kosong.

“Tabah, kau tahu cerita tentang daun maple?” tanya Ayah tiba-tiba, mencoba memecah keheningan.

Tabah menggeleng, meskipun sebenarnya ia pernah mendengar cerita itu. Ia ingin mendengar versi Ayah, ingin merasakan kehangatan dari setiap kata yang diucapkannya.

“Dulu, pohon maple adalah pohon yang paling kuat di hutan. Daun-daunnya selalu hijau, tak pernah gugur meski musim berganti. Namun, ada satu musim di mana angin bertiup sangat kencang, lebih kencang dari biasanya. Pohon maple itu merasa kuat, merasa bisa melawan angin. Tapi angin itu berbeda, angin itu membawa bisikan-bisikan dari hutan yang jauh, mengingatkan pohon maple akan kelemahan yang tak pernah disadarinya.”

Ayah berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

“Dan akhirnya, satu per satu, daun-daun maple itu gugur. Pohon maple merasa hancur, merasa kalah. Tapi di saat itulah ia menemukan kekuatan baru. Ia belajar bahwa kadang, untuk menjadi kuat, kita harus menerima bahwa kita bisa hancur. Itulah yang disebut tabah.”

Tabah menatap Ayah, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Apakah aku akan seperti daun maple itu, Ayah?”

Ayah tersenyum, menggenggam tangan Tabah dengan lembut. “Kau sudah seperti daun maple itu, Tabah. Kau tabah, meski kau merasa hancur. Kau kuat karena kau menerima kelemahanmu.”

Malam semakin larut, dan kamar rumah sakit itu terbenam dalam keheningan. Tabah merasa tenang, meski rasa sakit masih menyelimuti tubuhnya. Ia menutup mata, mendengarkan bisikan-bisikan yang datang dari luar, dari daun-daun maple yang gugur.

Di tengah malam, Tabah terbangun. Suara daun yang bergesekan dengan angin masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ia menoleh, melihat Ibu dan Ayah yang tertidur di sofa kecil di sudut ruangan. Ia merasa kesepian, meski kedua orang tuanya ada di dekatnya.

Ia bangkit perlahan dari ranjang, kakinya yang lemah bergetar saat menyentuh lantai dingin. Dengan hati-hati, ia membuka jendela lebih lebar, membiarkan angin malam yang sejuk masuk ke dalam kamar. Tabah merasakan kebebasan yang aneh, seolah daun-daun maple yang jatuh itu membawanya terbang jauh.

“Tuhan, jika ini adalah akhirku, biarlah aku seperti daun maple itu,” bisiknya pelan. “Biarlah aku jatuh dengan tenang, tanpa rasa takut.”

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk dengan langkah ringan, membawa obat-obatan yang harus diminum Tabah. Perawat itu menatap Tabah dengan senyum lembut.

“Kenapa kau bangun, Tabah? Kau seharusnya istirahat,” katanya dengan suara penuh kehangatan.

Tabah hanya tersenyum kecil. “Aku ingin merasakan angin malam. Aku ingin mendengar bisikan daun-daun maple itu.”

Perawat itu mengangguk, mengerti. “Baiklah, tapi setelah ini kau harus kembali ke ranjang dan minum obatmu. Kita tidak ingin kau semakin lemah, bukan?”

Tabah mengangguk patuh. Ia meminum obat yang diberikan, lalu kembali ke ranjangnya. Perawat itu menutup jendela perlahan, tetapi masih menyisakan sedikit celah agar angin bisa masuk.

“Kau tahu, Tabah,” kata perawat itu sebelum pergi, “kadang, untuk sembuh, kita harus percaya bahwa kita bisa sembuh. Sama seperti daun maple yang menerima bahwa mereka akan jatuh, tetapi mereka juga tahu bahwa musim semi akan datang dan mereka akan tumbuh kembali.”

Tabah terdiam, merenungkan kata-kata perawat itu. Ia menutup mata, membiarkan angin malam membelai wajahnya. Dalam hatinya, ia mulai percaya bahwa mungkin, suatu hari nanti, ia akan tumbuh kembali.

Share This Article
Pecinta Bahasa yang Elegan dan Santun, Menyukai Sastra dan Hal-hal Unik.