[CERPEN] Revolusi di Atas Meja Malam

diratama
19 Min Read
[CERPEN] Revolusi di Atas Meja Malam (Ilustrasi)

Revolusi di Atas Meja Malam (Bagian 1)

Malam telah lama menebarkan selimut kelamnya di kota. Sebuah meja kayu yang tampak lusuh menjadi saksi bisu percakapan kami. Bekas puntung rokok yang hangus di permukaannya menyisakan jejak-jejak masa lalu yang sulit terhapus. Di atas meja itu, makanan tersebar, namun kami lebih banyak terdiam. Hanya desahan angin dan suara berderak kayu yang menyusup di antara celah-celah keheningan.

“Aku selalu berpikir bahwa malam seperti ini membawa serta revolusi dalam sunyinya,” kata Arman, suaranya seakan datang dari kejauhan.

“Apa maksudmu?” tanya Lisa dengan nada yang setengah tak peduli, tangannya menggenggam gelas wine yang hampir kosong.

“Revolusi yang berganti kaki,” jawab Arman sambil menatap lekat pada sebuah kapal perang yang nampak samar-samar di kejauhan, diparkir di Selat Sunda.

Lisa mengerutkan kening. “Revolusi tidak punya kaki, Arman. Itu hanyalah ide yang berjalan sendiri.”

Arman tersenyum kecil, senyum yang penuh makna, namun tanpa keceriaan. “Tapi kau harus ingat, Lisa. Revolusi bisa berubah bentuk. Kadang ia menjadi manusia. Kadang menjadi mesin. Kadang pula hanya sebongkah kayu yang terbakar.”

Aku memperhatikan percakapan mereka dengan penuh minat, meski pikiranku melayang ke tempat lain. Di meja ini, di malam yang samar-samar ini, setiap kalimat yang terlontar seakan mengandung makna yang lebih dalam daripada sekadar kata-kata. Seperti meja kayu ini, yang menyimpan bekas puntung rokok, setiap kata meninggalkan bekas dalam pikiranku.

“Bagaimana kalau kita bayangkan malam ini sebagai sebuah revolusi?” tanya Lisa tiba-tiba, memecah keheningan yang mulai menguasai lagi.

Arman tertawa pelan. “Apa yang harus kita bayangkan, Lisa? Malam yang berganti kaki dan berjalan di atas kapal perang itu?”

Lisa menatapnya dengan pandangan penuh teka-teki. “Bukan. Kita bayangkan kita adalah bagian dari revolusi itu. Kita yang menggantikan kaki-kaki yang telah hilang.”

Aku tersentak oleh ucapannya. “Maksudmu, kita menjadi revolusi itu sendiri?”

“Ya,” jawab Lisa dengan mantap. “Kita adalah bagian dari perubahan, meski kita tidak menyadarinya.”

Aku terdiam, merenungkan kata-kata Lisa. Dalam keheningan malam, dengan suara deru angin dan gemericik air dari Selat Sunda, kata-kata itu terasa begitu nyata. Seperti meja kayu yang lusuh ini, seperti bekas puntung rokok yang hangus, kami juga adalah bagian dari cerita yang lebih besar. Cerita tentang revolusi yang berganti kaki, tentang malam yang membawa serta perubahan.

“Kau benar, Lisa,” kata Arman akhirnya. “Kita adalah bagian dari revolusi. Meski kita hanya duduk di sini, di meja ini, kita juga adalah bagian dari perubahan yang lebih besar.”

Lisa tersenyum, senyum yang penuh kepastian. “Mari kita lanjutkan makan malam kita. Dan mari kita nikmati setiap detik dari revolusi yang sedang berjalan ini.”

Kami melanjutkan makan malam kami, dalam keheningan yang penuh makna. Setiap suap makanan, setiap tegukan wine, terasa seperti bagian dari sebuah ritual yang lebih besar. Di atas meja kayu yang lusuh ini, di malam yang samar-samar ini, kami menyadari bahwa kami adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun terasa begitu nyata.

Arman kembali menyalakan rokoknya, menghisap dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya ke udara. “Aku selalu suka malam seperti ini,” katanya. “Malam yang penuh dengan kemungkinan.”

Lisa mengangguk setuju. “Malam adalah waktu di mana segalanya bisa terjadi. Waktu di mana revolusi bisa berganti kaki.”

Share This Article
Pecinta Bahasa yang Elegan dan Santun, Menyukai Sastra dan Hal-hal Unik.