Hari Raya Idul Fitri, atau yang lebih dikenal sebagai Lebaran, merupakan momen istimewa bagi umat Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan, Idul Fitri menjadi waktu untuk merayakan kemenangan, saling memaafkan, dan mempererat tali silaturahmi.
Namun, seiring perkembangan zaman, perayaan Lebaran tidak hanya sarat dengan nilai-nilai spiritual, tetapi juga kerap diwarnai dengan tren pamer fashion, terutama di media sosial.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam fenomena tersebut, memberikan data terkini, contoh nyata, dan analisis yang jarang dibahas oleh artikel lain.
Lebaran dan Tren Fashion: Data Terkini
Mengenakan pakaian baru saat Lebaran telah menjadi tradisi yang melekat di masyarakat Indonesia.
Menurut survei yang dilakukan oleh Jakpat, 88% responden berencana membeli baju baru untuk bulan Ramadan dan hari Lebaran.

Selain itu, survei YouGov Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan bahwa pakaian (79%) dan makanan serta minuman (71%) menjadi dua kategori utama yang paling banyak direncanakan untuk dibeli dengan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini.
Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan sandang, khususnya pakaian baru, masih mendominasi preferensi belanja masyarakat menjelang Idul Fitri.
Hal ini sejalan dengan tradisi dan anggapan bahwa mengenakan pakaian baru saat Lebaran merupakan simbol pembaruan diri setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh.
Media Sosial: Antara Ekspresi Diri dan Ajang Pamer
Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah cara masyarakat merayakan dan mengekspresikan kebahagiaan saat Lebaran. Platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok dipenuhi dengan unggahan foto dan video yang menampilkan pakaian baru, hidangan khas, hingga dekorasi rumah yang mewah.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah media sosial menjadi ajang pamer saat Idul Fitri?
Menurut Relly Anjar Vinata Wisnu Saputra dalam artikelnya di Langgam.id, fenomena pamer di media sosial saat Idul Fitri dapat menciptakan tekanan sosial bagi individu untuk menunjukkan kesuksesan atau kemewahan mereka.
Hal ini dapat mengalihkan fokus dari makna sejati Idul Fitri sebagai momen spiritual dan sosial menjadi ajang pamer yang bersifat materialistik dan duniawi.
Tren konsumsi fashion saat Lebaran tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga memiliki implikasi ekonomi dan lingkungan yang signifikan.
Peningkatan permintaan pakaian baru menjelang Idul Fitri memberikan keuntungan bagi industri fashion dan sektor ritel.
Namun, konsumsi yang berlebihan juga berpotensi meningkatkan limbah tekstil dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Selain itu, tekanan sosial untuk tampil sempurna di media sosial dapat mengaburkan esensi spiritual Idul Fitri.

Alih-alih momen untuk introspeksi dan peningkatan iman dalam diri, perayaan Lebaran bisa berubah menjadi kompetisi tidak sehat dalam hal penampilan dan kemewahan.
Untuk menjaga keseimbangan antara ekspresi diri dan nilai-nilai spiritual, penting bagi kita untuk mengingat kembali makna sejati Idul Fitri.
Mengenakan pakaian baru atau berbagi kebahagiaan di media sosial bukanlah hal yang salah, selama tidak mengesampingkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kepedulian terhadap sesama, dan introspeksi diri.
Sebagai penutup, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai momen untuk memperkuat hubungan sosial, meningkatkan kualitas diri, dan merayakan kemenangan spiritual setelah sebulan berpuasa.
Dengan demikian, kita dapat merayakan Lebaran dengan penuh makna, tanpa terjebak dalam tren konsumsi atau pamer yang berlebihan.
Bagaimana pandangan Anda tentang fenomena pamer fashion saat Lebaran? Apakah Anda merasa tekanan untuk tampil sempurna di media sosial saat Idul Fitri? Mari berdiskusi dan berbagi pengalaman Anda di kolom komentar.