proestate.id β Rumah subsidi dirancang pemerintah sebagai solusi untuk masyarakat berpenghasilan rendah agar bisa memiliki hunian layak.
Namun, dalam praktiknya, banyak pembeli pemula justru terjebak dalam kesalahan mendasar saat mengambil rumah subsidi. Padahal, kesalahan di awal bisa berdampak panjang mulai dari penyesalan finansial hingga masalah hukum.
Artikel ini membedah 7 kesalahan paling fatal yang sering dilakukan saat membeli rumah subsidi, berdasarkan studi kasus nyata di lapangan dan analisis regulasi pemerintah.
ποΈ 1. Tidak Mengecek Legalitas Developer dan Proyek
Banyak pembeli terlalu fokus pada harga murah dan cicilan ringan, tanpa mengecek legalitas developer. Padahal, rumah subsidi harus dibangun oleh pengembang resmi yang bekerja sama dengan Kementerian PUPR.
Tanda Developer Tidak Legal:
- Tidak tercantum dalam Sistem Registrasi Pengembang (SIRENG)
- Tidak punya izin lokasi, IMB/PBG, dan siteplan sah
- Tidak dapat menunjukkan dokumen kerja sama dengan bank penyalur KPR subsidi
Risiko: Proyek bisa mangkrak, tak bisa balik nama, atau gagal akad.
π‘Solusi: Cek developer di situs https://sireng.pu.go.id, atau aplikasi PUPR resmi.
2. Mengabaikan Kelayakan Lokasi dan Akses
Rumah subsidi umumnya dibangun di pinggiran kota karena harga tanah lebih murah. Tapi banyak pembeli tidak mempertimbangkan aspek akses, transportasi, dan fasilitas umum.
Dampaknya:
- Jarak ke tempat kerja bisa 2β3 jam sekali jalan
- Biaya transportasi membengkak
- Tidak ada sekolah, pasar, atau layanan kesehatan di dekat rumah
π Studi kasus: Seorang karyawan di Jakarta membeli rumah subsidi di Cileungsi dengan harga Rp170 juta. Ia harus menempuh 3 jam perjalanan ke kantor tiap hari. Setelah 1 tahun, rumah kosong karena ia kembali mengontrak di kota.
Tips: Cek Google Maps untuk waktu tempuh aktual, bukan hanya jarak km. Kunjungi lokasi saat jam sibuk sebelum membeli.
3. Tidak Jujur Soal Penghasilan dan Dokumen
Syarat utama rumah subsidi:
- Penghasilan maksimal Rp8 juta/bulan
- Belum pernah punya rumah
- Belum pernah ambil KPR subsidi sebelumnya
- Digunakan untuk dihuni (bukan investasi)
Sayangnya, banyak yang memanipulasi data:
- Slip gaji palsu
- Surat domisili fiktif
- Akad untuk orang lain (jual beli bawah tangan)
π Risiko: KPR bisa dibatalkan sepihak, dan pemilik bisa dikenakan sanksi pidana sesuai PP No. 25 Tahun 2020.
Solusi: Jika memang penghasilan melebihi syarat, pertimbangkan rumah non-subsidi kecil. Jangan βnekatβ karena rumah subsidi diaudit.
4. Tidak Bandingkan Skema KPR & Suku Bunga
Meskipun rumah subsidi memakai bunga tetap 5% (FLPP), tiap bank memiliki biaya-biaya tambahan yang berbeda:
- Biaya administrasi
- Provisi
- Notaris
- Asuransi jiwa & kebakaran
Beberapa bank mensyaratkan pembukaan rekening, kartu kredit, atau asuransi tambahan.
π‘ Ilustrasi:
KPR Bank A: cicilan Rp1,1 juta/bulan + biaya awal Rp7 juta
KPR Bank B: cicilan Rp1,2 juta/bulan + biaya awal Rp3 juta
β Mana lebih hemat?
Tips: Selalu minta simulasi total biaya awal dan cicilan 3 bank berbeda. Tanyakan juga soal penalti pelunasan di awal.
5. Tidak Memperhitungkan Biaya Tambahan Non-KPR
Banyak pembeli hanya menyiapkan DP dan biaya akad, tanpa tahu bahwa akan ada biaya tambahan:
- Balik nama sertifikat: Β±Rp2β3 juta
- PPN (jika tidak ditanggung): 11% dari harga
- Renovasi minor: karena rumah subsidi biasanya kosong & standar
- Pemasangan listrik/PDAM: tidak selalu langsung aktif
π Banyak juga kasus rumah subsidi diserahkan dalam kondisi tanpa pagar, belum dicat luar, atau bahkan tanpa keramik.
Solusi: Tanyakan detail kondisi rumah saat serah terima. Ambil foto unit contoh dan buat checklist dengan developer.
6. Terburu-buru Tanpa Lihat Unit Asli
Konsumen kadang terburu-buru mengambil keputusan hanya dari brosur, pameran, atau rayuan sales. Tidak jarang unit yang ditawarkan belum dibangun atau tidak sesuai denah.
π‘ Kasus: Rumah dijanjikan full tembok bata ringan, ternyata hanya batako. Dijanjikan double dinding, ternyata hanya partisi tripleks di kamar mandi.
Tips:
- Jangan akad jika rumah belum 70% jadi
- Kunjungi langsung lokasi & minta surat progres pembangunan
- Gunakan hak βlihat dulu baru akadβ
π°οΈ 7. Tidak Siap dengan Risiko Proyek Terlambat atau Mangkrak
Proyek rumah subsidi sering dikejar volume dan kuota. Tidak jarang, pengembang terjebak overpromise, sementara pembeli sudah terikat akad KPR.
Jika rumah tidak siap, bank tetap menagih cicilan meski unit belum diserahterimakan.
Risiko:
- Bayar cicilan tanpa bisa menempati rumah
- Dikejar dua biaya: kontrakan dan KPR
- Tidak bisa pindah atau jual karena status belum SHM
π‘οΈ Solusi:
- Tanyakan kepastian serah terima (tulis di surat perjanjian)
- Ajukan akad setelah rumah 100% siap huni
- Simpan bukti semua komunikasi dengan developer dan bank
Kesimpulan: Rumah Subsidi Bukan Murah Tanpa Risiko
Rumah subsidi adalah langkah besar menuju kepemilikan rumah, tetapi juga memiliki jebakan tersembunyi jika tidak dilakukan dengan cermat. Menghindari 7 kesalahan di atas bisa membuat keputusanmu lebih aman, sah, dan tidak merugikan secara jangka panjang.
π Checklist Aman Membeli Rumah Subsidi:
β Developer terdaftar & legal
β Lokasi strategis & terakses transportasi
β Semua dokumen sesuai syarat FLPP
β Simulasi dan biaya KPR transparan
β Cek kondisi unit fisik sebelum akad
β Siapkan dana tambahan non-KPR
β Akad hanya setelah rumah siap huni.