proestate.id – Dalam beberapa waktu terakhir, dunia teknologi dikejutkan oleh gelombang kabar mengejutkan yang datang dari Tiongkok: Microsoft dilaporkan menghentikan sebagian besar layanannya untuk perusahaan-perusahaan di negeri Tirai Bambu, disertai dengan pemutusan kerja sama, PHK massal, dan penutupan beberapa fasilitas penting.
Di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat antara Amerika Serikat dan Tiongkok, langkah Microsoft ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini sinyal bahwa Microsoft akan benar-benar meninggalkan pasar Tiongkok?
Pemutusan Layanan Microsoft terhadap BGI: Awal dari Domino Digital?
Laporan dari media Jepang Nikkei Asia menjadi titik awal pemberitaan heboh ini. Microsoft dikabarkan telah menghentikan penyediaan layanan email dan Office365 kepada BGI (Beijing Genomics Institute), perusahaan riset genetika terbesar di Tiongkok.
Dampaknya? Karyawan BGI harus lembur hingga malam untuk menyelamatkan data penting sebelum mereka benar-benar kehilangan akses terhadap Word, Excel, PowerPoint, Outlook, hingga layanan cloud OneDrive.
Tak hanya itu, layanan berbasis AI seperti GitHub Copilot dan ChatGPT juga dihentikan.
Alasan utamanya mengarah pada dimasukkannya BGI dalam daftar entitas terbatas oleh Departemen Pertahanan dan Perdagangan AS, sebuah langkah yang membuat perusahaan tersebut dianggap sebagai risiko keamanan nasional AS.
Kabar ini tidak hanya menjadi badai bagi BGI, tapi juga menyentuh isu yang lebih besar: bagaimana nasib perusahaan-perusahaan Tiongkok lainnya yang juga masuk dalam daftar hitam AS? Apakah mereka akan mengalami hal serupa?
Huawei Tak Lagi Gunakan Windows: Jalan Menuju Kemandirian Digital?
Dalam laporan terpisah dari media Tiongkok Observer, disebutkan bahwa lisensi sistem operasi Windows untuk Huawei telah kedaluwarsa, dan tidak ada tanda-tanda Microsoft akan memperpanjangnya.
Ini menjadi pukulan lain bagi hubungan teknologi antara Tiongkok dan AS, mengingat Huawei adalah salah satu raksasa teknologi Tiongkok yang selama ini cukup bergantung pada Windows.
Tanpa dukungan Microsoft, Huawei dipaksa untuk sepenuhnya mengandalkan sistem operasi buatan dalam negeri, semacam HarmonyOS atau alternatif lokal lainnya. Apakah ini buruk bagi Huawei? Belum tentu.
Justru ini bisa menjadi titik balik bagi Tiongkok untuk mempercepat ambisinya membangun kemandirian digital total, tanpa ketergantungan pada produk luar negeri.
PHK Massal di Shanghai WicreSoft: Kebocoran Internal Menguatkan Rumor Besar
Salah satu momen paling menggemparkan adalah beredarnya email internal dari Shanghai WicreSoft Co., Ltd.—perusahaan patungan antara Microsoft dan mitra lokal di Tiongkok.
Dalam email tersebut, disebutkan bahwa Microsoft akan menghentikan operasi di Tiongkok pada 8 April 2025.
Banyak netizen yang mengaku sebagai karyawan WicreSoft membenarkan kabar ini. Mereka mengungkapkan bahwa PHK telah terjadi secara masif, menandakan bahwa rencana penarikan Microsoft dari Tiongkok bukan sekadar rumor.
Namun, pihak Microsoft secara resmi membantah akan keluar dari Tiongkok. Dalam pernyataannya, Microsoft meminta publik tidak percaya pada informasi menyesatkan dan menyarankan siapa pun yang terdampak untuk menghubungi layanan pelanggan. Tapi, benarkah ini sekadar “klarifikasi” atau strategi menenangkan pasar?
Penurunan Bertahap Aktivitas Microsoft di Tiongkok
Fakta lain yang menguatkan dugaan penarikan Microsoft dari Tiongkok adalah jejak langkahnya selama setahun terakhir. Sejak Mei 2024, Microsoft telah menutup beberapa fasilitas penting, termasuk laboratorium AI di Shanghai dan sejumlah toko resminya di berbagai kota.
Memang, kontribusi pendapatan dari Tiongkok ke Microsoft secara global hanya sekitar 1,5%. Angka ini mungkin kecil secara finansial, tetapi secara strategis khususnya dalam persaingan teknologi dan pengaruh global pasar Tiongkok sangat penting.
Apalagi, pasar ini menyumbang hingga 25% dari pendapatan OpenAI, mitra Microsoft di bidang AI.
Ketergantungan besar terhadap teknologi AS membuat Tiongkok dalam posisi rawan. Maka, masuk akal jika negara ini akan semakin agresif mengembangkan alternatif lokal demi menjaga kedaulatan digitalnya.
Apa yang Sebenarnya Terjadi? Analisis dan Dampak Jangka Panjang
Langkah Microsoft ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga sangat politis. Dalam lanskap global yang makin dipenuhi kebijakan proteksionis, terutama dari Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, perusahaan teknologi AS mulai ditekan untuk tidak “berkolaborasi” dengan entitas yang dianggap berisiko secara geopolitik.
BGI misalnya, telah dicurigai oleh AS melakukan praktik yang membahayakan keamanan data global. Dan Huawei, sejak lama berada dalam pengawasan ketat karena dianggap bisa menjadi alat spionase pemerintah Tiongkok.
Di sisi lain, Tiongkok tidak tinggal diam. Pemerintahnya terus mendorong proyek “lokalisasi penuh” yang bertujuan untuk menggantikan ketergantungan terhadap perangkat lunak dan perangkat keras luar negeri. Ini termasuk:
- Pengembangan sistem operasi alternatif seperti HarmonyOS.
- Penguatan perusahaan lokal seperti Kingsoft dengan produk WPS Office.
- Pembatasan penggunaan perangkat lunak asing di lembaga pemerintahan.
Menuju Dekade Kedaulatan Digital
Apa yang kita lihat saat ini sebenarnya bukan hanya langkah-langkah individu perusahaan, melainkan bagian dari transformasi global menuju decoupling (pemutusan) ekonomi digital antara dua kekuatan besar dunia: AS dan Tiongkok.
Dalam dekade ini, kita kemungkinan besar akan menyaksikan:
- Bertumbuhnya raksasa teknologi baru di Tiongkok sebagai penantang dominasi perusahaan barat.
- Fragmentasi ekosistem digital global: Dunia akan terbagi ke dalam dua kubu teknologi yang berbeda, dengan standar, lisensi, dan aplikasi masing-masing.
- Peningkatan risiko siber dan perang data: Ketika kerja sama teknologi diputuskan, potensi konflik digital makin besar.
Apa Dampaknya bagi Dunia dan Pengguna Umum?
1. Bagi Startup dan Developer
Pemutusan akses GitHub Copilot dan layanan Microsoft bisa membuat startup Tiongkok mencari solusi open-source atau mengembangkan AI-nya sendiri. Dunia bisa melihat peningkatan inovasi dari sisi timur, tapi sekaligus tantangan interoperabilitas antar teknologi.
2. Bagi Pengguna Global
Dengan potensi penarikan Microsoft dari pasar Tiongkok, harga produk teknologi—baik hardware maupun software—bisa terdampak karena terganggunya rantai pasok dan ekosistem pengembangan.
3. Bagi Investor
Investor global harus mencermati risiko geopolitik terhadap saham teknologi, terutama perusahaan yang punya keterikatan besar dengan pasar Tiongkok.
4. Bagi Pemerintah dan Institusi
Negara-negara berkembang perlu belajar dari langkah Tiongkok dalam menciptakan kemandirian digital. Ketika perang teknologi menjadi nyata, bergantung pada satu negara atau satu sistem bukanlah pilihan bijak.
Penutup: Microsoft dan Tiongkok — Awal dari Akhir atau Evolusi Hubungan Baru?
Meski Microsoft membantah mundur dari Tiongkok, kenyataannya terlalu banyak tanda yang menunjukkan arah sebaliknya.
Ketika layanan dihentikan, lisensi tidak diperpanjang, fasilitas ditutup, dan karyawan diberhentikan, publik tentu tidak bisa disalahkan bila menyimpulkan bahwa Microsoft sedang “merapikan meja” sebelum benar-benar hengkang.
Namun, keputusan Microsoft bisa jadi bukan akhir dari hubungan AS-Tiongkok di sektor teknologi, melainkan awal dari babak baru yang lebih selektif, lebih berhati-hati, dan lebih strategis. Dunia harus bersiap menghadapi realitas baru: ekosistem digital global akan terbagi dua, dan siapa yang bisa beradaptasi, dialah yang akan menang.