Perang India Pakistan 2025: Bagaimana Konflik Ini Mengubah Peta Investasi Properti Global dalam 7 Hari?

Disda Hendri Yosuki
By
Disda Hendri Yosuki
Disda Hendri Yosuki adalah seorang penulis lepas yang fokus terhadap hal-hal menarik dan trend, tidak menutup kemungkinan bagi dirinya untuk menulis semua isu bahkan bisa dibilang...
6 Min Read
Perang India Pakistan 2025: Bagaimana Konflik Ini Mengubah Peta Investasi Properti Global dalam 7 Hari? (Ilustrasi)

proestate.id – Konflik bersenjata antara India dan Pakistan pada Mei 2025 tidak hanya memicu krisis kemanusiaan, tetapi juga mengganggu stabilitas pasar properti global.

Meskipun dampak fisik terpusat di Kashmir dan wilayah perbatasan, gelombang ketidakpastian geopolitik ini memicu perubahan drastis dalam aliran modal, preferensi investor, dan strategi pengembangan properti di berbagai belahan dunia.

Artikel ini menganalisis dinamika pasar real estate pascakonflik dari dua perspektif: dampak langsung di kawasan terdampak dan efek spillover ke pasar global, dengan mempertimbangkan data terkini, respons kebijakan, serta proyeksi pemulihan.

1. Dampak Langsung: Krisis di India dan Pakistan

Penurunan Drastis di Kawasan Perbatasan

Di India, kota-kota seperti Jammu dan Srinagar mengalami penurunan harga properti residensial sebesar 8–12% hanya dalam seminggu pascaserangan.

Properti komersial, terutama hotel dan pusat perbelanjaan di Srinagar, kolaps dengan tingkat okupansi di bawah 30%.

Sementara itu, proyek infrastruktur pertahanan di perbatasan, seperti pembangunan barak militer, justru menarik investasi sekunder ke Jammu, meski belum cukup mengimbangi kerugian di sektor pariwisata.

Di Pakistan, proyek-proyek besar seperti Bahria Town Karachi dan DHA Lahore terpaksa menunda peluncuran fase baru.

Harga apartemen premium di Lahore turun 10–15% akibat panik jual, sementara penutupan ruang udara mengganggu pasokan material konstruksi.

Migrasi Internal dan Ketahanan Kota Besar

Meski pasar perumahan di zona konflik kolaps, kota-kota besar seperti Islamabad (Pakistan) dan Bangalore (India) justru mengalami kenaikan permintaan sewa sebesar 3–7% akibat migrasi pekerja dan penduduk yang menghindari wilayah rawan.

Di Islamabad, harga properti komersial naik 4% karena lonjakan permintaan ruang kantor dari perusahaan yang relokasi.

2. Efek Spillover: Pergeseran Investasi ke Kawasan “Aman”

Melambatnya Pasar Properti Dubai

Dubai, yang 40% pembeli propertinya berasal dari Asia Selatan [5], mencatat penurunan transaksi sebesar 8% pada Mei 2025.

Investor India dan Pakistan, yang biasanya mendominasi pembelian unit premium, menunda keputusan karena kekhawatiran repatriasi dana dan fluktuasi mata uang.

Properti mewah di kawasan Downtown Dubai dan Palm Jumeirah paling terdampak, dengan harga diperkirakan stagnan hingga akhir 2025.

Asia Tenggara Jadi Alternatif Investasi

Sebaliknya, pasar properti di Bangkok (Thailand) dan Kuala Lumpur (Malaysia) mencatat kenaikan permintaan 12%.

Unit luxury di Phuket (Thailand) bernilai $500.000–$1 juta laris diborong investor India yang mengalihkan portofolio dari wilayah konflik.

Di Singapura, permintaan apartemen freehold di distrik 9 dan 10 naik 7%, meski pertumbuhan harga melambat menjadi 1.5% di Q1 2025.

3. Respons Pasar Matang: Ketahanan vs. Kerentanan

Eropa: Safe-Haven untuk Modal Global

Properti di Jerman dan Swiss menjadi tujuan utama investor yang menghindari risiko. Harga properti residensial di Zurich naik 2.3% pada Mei 2025, sementara transaksi properti komersial di Berlin melonjak 14%.

Di London, properti mewah di Chelsea dan Knightsbridge justru sepi pembeli, dengan transaksi turun 8% akibat preferensi terhadap aset likuid seperti emas.

Jepang: Stabil Berkat Kebijakan Moneter

Pemerintah Jepang berhasil mempertahankan stabilitas pasar properti melalui kebijakan suku bunga rendah. Indeks J-REIT hanya turun 1.2%, lebih rendah dibandingkan REIT Asia Pasifik yang anjlok 6.7%.

Namun, penjualan properti luxury di Tokyo (>¥300 juta) turun 18% karena investor asing beralih ke obligasi pemerintah.

4. Dampak Sektor Komersial & Logistik

REIT Hospitality vs. Logistik

REIT sektor hospitality dan ritel Asia-Pasifik terpukul berat, dengan indeks turun 6.7%. Namun, REIT logistik di Australia dan Singapura justru naik 2–3% karena permintaan gudang meningkat 18% di Vietnam dan Bangladesh.

Relokasi pabrik dari India-Pakistan ke kawasan industri Penang (Malaysia) juga mendongkrak sewa gudang sebesar 9%.

Pertaruhan Properti Industri

Konflik ini mempercepat tren relokasi rantai pasok global. Di Vietnam, harga gudang logistik naik 18% seiring masuknya perusahaan manufaktur yang sebelumnya beroperasi di Punjab (Pakistan).

Pemerintah Malaysia merespons dengan insentif pajak untuk pengembangan kawasan industri di Johor Bahru, yang diprediksi menyerap investasi hingga $2 miliar pada 2026.

5. Proyeksi Pemulihan & Strategi Mitigasi

Faktor Penentu Pemulihan

  • Durasi Konflik: Analis memprediksi pemulihan pasar India-Pakistan dalam 6–12 bulan pascagenjatan senjata, mengikuti pola pasca-Konflik Kargil 1999.
  • Kebijakan Moneter: Pemangkasan suku bunga 25 bps oleh Bank Sentral India pada Mei 2025 berpotensi memulihkan minat di kota tier-2 seperti Pune dan Ahmedabad.
  • Kontrol Risiko Geopolitik: Pemerintah Pakistan mulai mengalokasikan $500 juta untuk mempercepat proyek CPEC di Balochistan, meski efektivitasnya bergantung pada resolusi konflik.

Strategi Investor Global

  • Alihkan ke Properti Defensif: Apartemen build-to-rent di pasar mature seperti Jerman dan Jepang menawarkan imbal hasil stabil 4–5%.
  • Manfaatkan Depresiasi Mata Uang: Pembeli bisa memanfaatkan pelemahan rupee India (-9% terhadap dolar AS) dan rupee Pakistan (-15%) untuk akuisisi properti diskon.
  • Fokus pada Sektor Tahan Resiko: REIT kesehatan dan teknologi di Singapura serta Australia mencatat kenaikan 2–3% meski gejolak geopolitik.

Kesimpulan: Real Estate dalam Cengkeraman Geopolitik

Konflik India-Pakistan 2025 membuktikan bahwa pasar properti global tidak lagi terisolasi dari dinamika politik.

Jika sebelumnya faktor ekonomi makro seperti suku bunga mendominasi, kini ketegangan geopolitik menjadi penentu utama aliran modal.

Pasar yang bertahan adalah yang memiliki ketahanan domestik (Jepang, Jerman) atau kelincahan adaptasi (Vietnam, Thailand). Bagi investor, diversifikasi geografis dan sektoral bukan lagi opsi, melainkan keharusan.

Sementara itu, negara-negara terdampak seperti India dan Pakistan perlu membangun strategi jangka panjang yang memadukan keamanan nasional dengan stabilitas investasi.

Jika tidak, polarisasi pasar properti global akan semakin dalam: kawasan konflik ditinggalkan, sementara “surga aman” kebanjiran modal—sebuah paradoks di era yang diklaim sebagai puncak globalisasi.

Share This Article