proestate.id – Ketegangan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) kembali meningkat setelah Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif baru yang memberlakukan tarif sebesar 32% pada produk-produk Indonesia.
Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 9 April 2025, dan menjadi perhatian utama bagi pelaku pasar serta pemerintah Indonesia, yang kini tengah bersiap melakukan negosiasi untuk meredakan dampak dari kebijakan tersebut.
Latar Belakang Kebijakan Tarif
Kebijakan tarif yang dikenakan oleh AS merupakan respons terhadap ketidakpuasan mereka terhadap neraca perdagangan dengan Indonesia.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia telah mengajukan proposal negosiasi yang mencakup beberapa langkah strategis untuk mengurangi dampak negatif dari tarif tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa Indonesia tidak akan meminta penurunan tarif impor terhadap barang-barang dari AS, mengingat tarif tersebut masih tergolong rendah (sekitar 5%) untuk produk tertentu seperti gandum dan kedelai.
Keuntungan dari Negosiasi Tarif
Peluang Meningkatkan Kerjasama Ekonomi: Negosiasi ini dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat kerjasama ekonomi dengan AS.
Dengan menawarkan insentif seperti relaksasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Indonesia berharap dapat menarik kembali investasi dari AS dan meningkatkan ekspor.
Revitalisasi Perjanjian TIFA: Salah satu langkah yang diusulkan adalah revitalisasi Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang ditandatangani pada tahun 1996.
Dengan memperbarui perjanjian ini, Indonesia dapat menyesuaikan kebijakan perdagangan agar lebih relevan dengan kondisi saat ini dan meningkatkan akses pasar ke AS.
Meningkatkan Daya Saing Produk: Melalui negosiasi, Indonesia berencana untuk memperkenalkan deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs), yang dapat membantu produk-produk lokal untuk lebih kompetitif di pasar AS.
Ini termasuk relaksasi mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi.
Risiko yang Harus Diperhatikan
Dampak Negatif pada Sektor Ekspor: Kenaikan tarif sebesar 32% dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam volume ekspor Indonesia ke AS, terutama di sektor-sektor utama seperti tekstil dan elektronik.
Hal ini berpotensi mengurangi pendapatan negara dari sektor ekspor.
Kekosongan Posisi Duta Besar: Salah satu tantangan dalam negosiasi ini adalah kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS selama hampir dua tahun.
Meskipun Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno meyakini bahwa tim delegasi dapat menangani negosiasi tersebut, kekurangan pemimpin diplomatik di negara kunci seperti AS dapat memengaruhi efektivitas perundingan.
Ketidakpastian Ekonomi Global: Situasi ini juga dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global yang lebih luas, termasuk potensi resesi di berbagai negara akibat ketegangan perdagangan internasional.
J.P. Morgan memperkirakan risiko resesi global mencapai 40% di tahun ini.