proestate.id – April 2025 menjadi bulan yang dinanti para investor saham perbankan. Tak tanggung-tanggung, delapan bank terkemuka di Indonesia bersiap membagikan dividen total hingga Rp 125 triliun angka yang mencerminkan ketahanan sektor keuangan meski di tengah gejolak pasar.
Namun, di balik besarnya nominal ini, ada dinamika menarik yang perlu dicermati, mulai dari potensi imbal hasil tinggi hingga risiko “jebakan dividen” di tengah ketidakpastian global.
Dividen Besar di Tengah Koreksi Pasar
Meski nominal dividen yang dibagikan mencapai rekor, sentimen pasar terhadap saham perbankan belum sepenuhnya cerah.
Sejak awal tahun 2025, indeks saham perbankan tercatat terkoreksi hingga 17%, seperti yang terjadi pada saham Bank Mandiri (BMRI).
Penurunan harga ini justru mendongkrak dividend yield rasio dividen terhadap harga saham menjadi lebih menarik. Misalnya, BMRI menawarkan yield hingga 9,8%, tertinggi di antara bank-bank pembagi dividen.
“Ketika harga saham turun, dividend yield secara otomatis naik. Ini bisa menjadi peluang bagi investor yang mencari pendapatan pasif,” jelas Ekky Topan, Analis Infovesta Utama.
Namun, ia mengingatkan bahwa kondisi global yang dipicu ketegangan geopolitik dan fluktuasi suku bunga AS bisa memengaruhi stabilitas harga pasca-ex-date.
Siapa Saja Bank Penyumbang Dividen Terbesar?
Dari delapan bank yang membagikan dividen, berikut tiga kontributor utama:
- Bank Central Asia (BBCA)
Dividen: Rp 30,7 triliun (dibagikan 11 April)
Dividend Yield: 3,5%
Meski yield-nya terendah, BCA tetap menjadi favorit investor karena stabilitas kinerjanya. - Bank Mandiri (BMRI)
Dividen: Rp 466 per saham (total Rp 24,3 triliun)
Dividend Yield: 9,8%
Koreksi harga 17% sejak Januari membuat yield-nya melambung, menarik minat dividend hunter. - Bank Tabungan Negara (BBTN)
Dividen: Rp 751,8 miliar
Meski nominalnya terkecil, BTN tetap konsisten membagikan 30% laba bersih sebagai dividen.
Tak ketinggalan, Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan Bank Negara Indonesia (BBNI) juga berkontribusi dengan dividen masing-masing Rp 20,46 triliun dan Rp 10,1 triliun.
Momen Tepat untuk Dividend Hunter atau Jebakan Semu?
Perbedaan pendapat di kalangan analis memunculkan dua sudut pandang. Di satu sisi, koreksi harga dianggap sebagai momentum tepat untuk memburu yield tinggi.
“Valuasi saham perbankan sekarang lebih murah, dan dividen besar bisa menjadi safety net untuk jangka panjang,” tambah Ekky.
Di sisi lain, Handiman Soetoyo dari Mirae Asset mengingatkan bahwa dividen tak lagi menjadi daya tarik utama.
“Investor asing justru terus melepas saham perbankan. Ini sinyal bahwa faktor eksternal seperti tekanan kurs dan risiko resesi global lebih dominan,” ujarnya.
Maximilianus Nicodemus dari Pilarmas Investindo juga menyarankan kehati-hatian: Dividen tinggi bisa jadi trap jika harga terus tertekan pasca-ex-date.
Apa Itu Dividend Trap dan Bagaimana Menghindarinya?
Dividend trap terjadi ketika investor membeli saham hanya karena iming-iming dividen besar, namun harga saham anjlok setelah ex-date—bahkan lebih dalam dari nilai dividen itu sendiri. Akibatnya, kerugian modal tak terhindarkan.
Untuk meminimalkan risiko ini, investor perlu memerhatikan:
- Kesehatan Fundamental Bank: Pastikan dividen berasal dari laba bersih, bukan utang.
- Rasio Pembayaran Dividen (Payout Ratio): Idealnya di bawah 80% agar bank tetap memiliki cadangan untuk ekspansi.
- Prospek Sektor Perbankan: Pertumbuhan kredit, tingkat NPL, dan dampak BI rate terhadap margin bunga.
Strategi Investasi: Jangka Pendek vs. Jangka Panjang
Bagi investor jangka pendek, membeli saham sebelum cum date (batas kepemilikan untuk dapat dividen) berisiko tinggi. “Setelah ex-date, biasanya terjadi aksi jual massal yang membuat harga turun. Butuh waktu lama untuk recovery,” papar Maximilianus.
Sementara untuk investor jangka panjang, koreksi harga justru menjadi kesempatan membeli saham berkualitas dengan valuasi menarik. “Bank seperti BMRI dan BBCA memiliki likuiditas kuat dan pertumbuhan stabil. Dividen adalah bonus,” tambah Ekky.
Proyeksi ke Depan: Akankah Dividen Perbankan Terus Membesar?
Tren peningkatan dividen perbankan dipicu oleh kinerja positif di 2024, di mana rasio kredit bermasalah (NPL) terjaga di bawah 3% dan pertumbuhan kredit mencapai 10%-12%. Namun, tantangan ke depan tak bisa diabaikan:
- Kenaikan BI Rate: Bisa menekan permintaan kredit.
- Persaingan dengan Fintech: Perlu inovasi layanan digital untuk mempertahankan nasabah.
- Ketatnya Regulasi: Kewajiban pencadangan likuiditas (GWM) berpotensi mengurangi laba bersih.
Kesimpulan: Bijak Menyikapi Dividen Rp 125 Triliun
Gelontoran dividen Rp 125 triliun ini adalah kabar baik, namun keputusan investasi harus didasari analisis mendalam. Bagi pemula, mungkin lebih aman berfokus pada bank dengan fundamental kuat dan riwayat dividen konsisten, seperti BBCA atau BMRI.
Sementara investor berpengalaman bisa memanfaatkan volatilitas harga untuk mengambil keuntungan jangka pendek.
Yang pasti, di tengah ketidakpastian pasar, prinsip risk management tetap kunci utama.
Seperti kata Handiman, “Dividen bukanlah tujuan akhir, tapi bagian dari strategi holistik.” Dengan kata lain, jangan sampai tergiur nominal besar, tapi lupa memerhatikan risiko di baliknya.
Artikel ini ditulis dengan menggabungkan data faktual dan wawasan analis, dirancang untuk membantu investor membuat keputusan terinformasi. Selalu lakukan riset mandiri atau konsultasi dengan profesional sebelum berinvestasi.