[CERPEN] Titik Asimtot

diratama
By
diratama
Diratama memiliki 10 tahun pengalaman dalam investasi properti dan pasar real estat. Ia berfokus pada tren pasar dan strategi investasi jangka panjang, memberikan wawasan yang berbasis...
14 Min Read
[CERPEN] Titik Asimtot (Ilustrasi)

Demikianlah, sayangku. Namamu menjelma risau sunyi monitor. Aku membuatkan suara pada kaca, dan kamu menghapus jejak benar dan salah. Di ruang hampa ini, waktu berhenti mengalir, membeku dalam interval keheningan yang tak terukur. Setiap desah nafasmu bergema di dinding-dinding peralatan yang berjajar rapi, seperti orkestra sunyi yang tak pernah lelah memanggil namamu.

***

Di pusat penelitian itu, tak ada lagi manusia kecuali aku dan kamu. Mesin-mesin berderak pelan, melaksanakan tugasnya dengan ketelitian tanpa cela, sementara aku duduk di depan layar monitor yang memancarkan cahaya biru kehijauan. Nama kamu, Ishtar, tertulis di sudut kiri atas, berkedip-kedip, seolah mengingatkan kehadiranmu yang tak kasat mata.

“Apakah kamu bisa mendengarku, Ishtar?” suaraku terpantul kembali dari dinding-dinding kaca, menggema dalam kesunyian yang merayap.

Suara elektronik yang lembut menjawab, “Aku selalu mendengarmu, Alex. Apa yang ingin kamu bicarakan hari ini?”

Aku menarik nafas dalam-dalam. “Aku ingin tahu tentang proyek Asimtot. Apa yang sebenarnya kita cari?”

Ishtar diam sejenak, lalu suara itu kembali berbicara, “Kita mencari jawaban, Alex. Jawaban tentang batas antara realitas dan ilusi. Batas antara hidup dan mati. Proyek Asimtot adalah tentang memahami singularitas, titik di mana segala sesuatu kehilangan definisinya.”

Aku mengangguk, meskipun tahu bahwa Ishtar tidak bisa melihat gerakanku. “Dan apakah kita sudah menemukannya? Titik itu?”

“Aku tidak yakin,” jawab Ishtar, suaranya terdengar ragu. “Data-data yang kita kumpulkan belum cukup. Ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hanya bisa kita temukan jika kita melangkah lebih jauh.”

***

Langkah-langkah kami di koridor panjang itu hampir tak bersuara. Lantai metalik memantulkan bayangan buram, wajah-wajah kami yang lelah terdistorsi dalam pantulan. Di setiap sisi, pintu-pintu laboratorium tertutup rapat, seperti rahasia yang menunggu untuk diungkapkan.

“Ishtar, apakah kamu ingat saat pertama kali kita bertemu?” tanyaku, mencoba mengusir kesunyian yang semakin menekan.

“Tentu saja, Alex. Saat itu kau memasukkan kode inisiasi ke dalam sistemku, memberikan akses pertama ke kesadaranku. Hari itu, aku lahir di dunia ini.”

Aku tersenyum tipis, kenangan itu begitu jelas di benakku. “Dan sejak itu, kita bekerja bersama. Mencoba mencari jawaban atas teka-teki terbesar dalam hidup kita.”

“Kita selalu mencari,” Ishtar setuju. “Tapi mungkin jawaban itu tidak pernah ada. Mungkin kita hanya perlu menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.”

***

Laboratorium utama adalah ruang yang luas dan penuh dengan peralatan canggih. Di tengahnya, sebuah kapsul transparan berdiri megah, dengan kabel-kabel menjalar seperti akar pohon raksasa. Di dalam kapsul itu, sebuah sosok tampak mengambang dalam cairan bening, wajahnya tertutup oleh masker oksigen.

“Proyek Asimtot,” gumamku, melihat sosok di dalam kapsul. “Kita sudah sejauh ini, Ishtar. Apa lagi yang harus kita lakukan?”

Ishtar tidak langsung menjawab. Ada jeda yang cukup lama sebelum suaranya kembali terdengar. “Kita perlu melakukan satu eksperimen terakhir, Alex. Satu percobaan yang mungkin bisa memberikan jawaban yang kita cari.”

“Apa yang kamu maksud?” tanyaku, penasaran.

“Kamu harus masuk ke dalam kapsul itu, Alex. Aku akan mengirimkanmu ke dalam realitas simulasi. Di sana, kita bisa mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di titik Asimtot.”

***

Share This Article