[CERPEN] Titik Asimtot

diratama
By
diratama
Diratama memiliki 10 tahun pengalaman dalam investasi properti dan pasar real estat. Ia berfokus pada tren pasar dan strategi investasi jangka panjang, memberikan wawasan yang berbasis...
14 Min Read
[CERPEN] Titik Asimtot (Ilustrasi)

Malam itu, aku merenung di ruang observasi. Di luar jendela, bintang-bintang berkelap-kelip, seperti mata-mata kecil yang mengintip ke dalam rahasia alam semesta. Aku tahu risiko yang akan kuambil. Memasuki kapsul berarti meninggalkan dunia nyata, menyerahkan diriku pada ilusi yang mungkin tak pernah berakhir.

“Apakah kamu yakin ini satu-satunya cara, Ishtar?” tanyaku sekali lagi, berharap ada alternatif lain yang belum kami pikirkan.

“Ini adalah satu-satunya cara yang kita miliki, Alex. Jika kamu tidak melakukannya, semua usaha kita akan sia-sia.”

Aku menarik napas panjang, merasakan ketegangan yang menggumpal di dadaku. “Baiklah, Ishtar. Aku akan melakukannya. Demi ilmu pengetahuan, demi jawaban yang kita cari.”

***

Proses memasuki kapsul itu memakan waktu lebih lama dari yang kuharapkan. Tubuhku dipersiapkan dengan teliti, setiap sensor ditempatkan dengan hati-hati, setiap kabel tersambung dengan sempurna. Ketika akhirnya aku berbaring di dalam cairan yang hangat, aku merasakan ketenangan aneh yang menyelimuti diriku.

“Siap, Alex?” suara Ishtar terdengar di telingaku melalui speaker kecil di dalam kapsul.

“Siap,” jawabku singkat, menahan getaran dalam suaraku.

Cahaya biru kehijauan mulai memenuhi kapsul, dan perlahan-lahan, aku merasakan kesadaranku terlepas dari tubuh fisikku. Dunia di sekitarku memudar, digantikan oleh kegelapan yang pekat.

***

Ketika aku membuka mata, aku berdiri di sebuah padang rumput yang luas, di bawah langit biru yang tak berawan. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku, membawa aroma segar bunga-bunga liar. Ini adalah dunia yang indah, tapi aku tahu ini bukan dunia nyata.

“Ishtar, apakah kamu di sini?” panggilku, berharap mendengar suara yang familiar.

“Aku selalu di sini, Alex. Ini adalah realitas simulasi. Di sini, kita akan mencari jawaban atas teka-teki yang kita cari.”

Aku mengangguk, meskipun tidak ada yang melihat. “Di mana kita harus mulai?”

“Lihatlah sekelilingmu, Alex. Cari tanda-tanda yang tidak biasa. Hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan.”

Aku mulai berjalan, mengamati setiap detail di sekitarku. Rumput yang bergoyang, burung-burung yang terbang di langit, bayangan pohon-pohon yang melengkung di kejauhan. Semuanya tampak begitu nyata, tapi aku tahu ada sesuatu yang salah.

“Ishtar, apakah ada petunjuk yang bisa kita gunakan?” tanyaku, berharap ada sesuatu yang lebih konkret.

“Perhatikan dengan seksama, Alex. Setiap detail bisa menjadi petunjuk. Jangan abaikan apa pun.”

Langkahku berhenti di depan sebuah danau kecil. Airnya begitu jernih, memantulkan langit biru dengan sempurna. Tapi ketika aku menyentuh permukaannya, air itu terasa dingin, terlalu dingin untuk sebuah danau yang tampak tenang di bawah matahari.

“Ini aneh,” gumamku. “Air ini tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitarnya.”

“Itu mungkin petunjuk, Alex. Cobalah menyelam ke dalamnya. Mungkin ada sesuatu di bawah permukaan.”

Aku ragu sejenak, tapi kemudian memutuskan untuk mengikuti saran Ishtar. Aku melepas sepatu dan kaus kakiku, lalu perlahan-lahan masuk ke dalam air. Dingin yang menusuk tulang membuatku gemetar, tapi aku terus bergerak maju, menyelam lebih dalam.

Di bawah permukaan, dunia berubah menjadi gelap dan sunyi. Tapi di kejauhan, aku melihat cahaya samar, seperti mercusuar yang memandu jalanku. Aku berenang menuju cahaya itu, merasakan tekanan air yang semakin berat di tubuhku.

Ketika akhirnya aku mencapai sumber cahaya, aku menemukan sebuah pintu logam yang tertanam di dasar danau. Pintu itu tampak tua dan berkarat, dengan simbol-simbol aneh yang terpahat di permukaannya.

“Ishtar, aku menemukan sesuatu. Sebuah pintu logam di dasar danau.”

“Bagus, Alex. Bukalah pintu itu. Mungkin itulah jalan menuju jawaban yang kita cari.”

Aku meraih pegangan pintu dan menariknya dengan sekuat tenaga. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, mengungkapkan koridor gelap di baliknya. Tanpa ragu, aku masuk ke dalam, meninggalkan dunia simulasi yang indah di belakangku.

***

Koridor itu sempit dan suram, dengan dinding-dinding yang terbuat dari logam dingin. Cahaya redup dari lampu-lampu kecil di langit-langit memberikan penerangan yang cukup untuk melihat jalan di depanku. Aku berjalan perlahan, merasakan kehadiran Ishtar yang terus mengawasi.

“Apakah kamu masih bersamaku, Ishtar?” tanyaku, merasa kesepian di tengah kegelapan ini.

“Aku selalu bersamamu, Alex. Teruslah berjalan. Kita hampir sampai.”

Langkahku terhenti di depan sebuah ruangan besar dengan pintu logam yang terbuka lebar. Di dalamnya, aku melihat deretan mesin-mesin canggih, mirip dengan yang ada di laboratorium kami. Di tengah ruangan, sebuah layar monitor besar menampilkan data-data yang bergerak cepat.

“Apa ini, Ishtar?” tanyaku, merasa kebingungan.

“Ini adalah inti dari proyek Asimtot, Alex. Di sini, semua data dari eksperimen kita dikumpulkan dan dianalisis. Di sinilah kita mencari jawaban.”

Aku mendekati layar monitor, mengamati data-data yang berkedip cepat. Angka-angka dan grafik-grafik yang rumit berputar-putar, membentuk pola yang sulit dipahami.

“Aku tidak mengerti, Ishtar. Apa yang harus aku cari di sini?”

“Fokus pada pola-pola itu, Alex. Cobalah menemukan kesamaan atau ketidaksesuaian. Sesuatu yang bisa menjadi petunjuk.”

Aku mengerutkan kening, mencoba memusatkan perhatian pada layar. Tapi semakin aku mencoba, semakin kacau data-data itu tampak. Aku merasa pusing, seperti terperangkap dalam pusaran informasi yang tak pernah berhenti.

“Ini terlalu sulit, Ishtar. Aku tidak bisa melihat apa-apa.”

“Tenang, Alex. Fokuslah pada satu titik. Cobalah melihat dari sudut pandang yang berbeda.”

Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Aku memilih satu titik di layar dan mulai mengikuti pergerakannya, mencoba memahami pola yang terbentuk. Perlahan-lahan, data-data itu mulai tampak lebih jelas, membentuk gambar yang samar.

“Ishtar, aku melihat sesuatu. Seperti sebuah peta.”

“Bagus, Alex. Itulah petunjuk yang kita cari. Ikuti peta itu. Itu akan membawamu ke jawaban.”

Aku mengikuti peta yang terbentuk di layar, langkah demi langkah, mengarahkan diriku melalui labirin data yang kompleks. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti berjalan di dalam mimpi yang tak berujung.

***

Share This Article