proestate – Sebuah pulau tropis dengan pantai putih membentang, bukit hijau yang masih alami, dan geliat pembangunan yang baru saja dimulai. Itulah Lombok hari ini.
Banyak yang menyebutnya sebagai “Bali 10 tahun lalu”—istilah yang terdengar klise, namun justru itulah daya tariknya.
Saat Bali mulai menghadapi kejenuhan (over-tourism, harga tanah melambung, dan kompetisi sengit antar-investor), Lombok hadir sebagai alternatif yang lebih “fresh”.
Entry cost lebih rendah, peluang apresiasi tinggi, dan ditopang oleh proyek strategis nasional seperti KEK Mandalika. Pertanyaannya: benarkah Lombok akan menjadi “the next Bali”? Atau justru punya jalur uniknya sendiri?
Kami akan membedah Lombok dari berbagai sudut: investor, konsumen, pengembang, hingga pemerintah. Demi menjawab rasa penasaran kita yang sering muncul ketika berbicara soal pasar properti frontier seperti ini.
1. Lombok vs Bali: Dua Dunia, Dua Momentum
Bali sudah lama jadi magnet investasi global. Infrastruktur mapan, komunitas ekspat yang solid, dan arus turis stabil membuatnya menjadi safe haven bagi investor properti. Tapi semua itu ada harganya.
Harga tanah di Canggu, misalnya, bisa menembus Rp 5 miliar per are (100 m²)—lebih dari dua kali lipat harga tanah di Kuta, Lombok. Artinya, siapa pun yang baru ingin masuk ke pasar Bali harus siap modal besar, dengan margin keuntungan yang makin menipis.
Sebaliknya, Lombok masih menawarkan harga terjangkau. Di Kuta Lombok, tanah berkisar $100–$400/m² (Rp 350–450 juta/are), dengan potensi ROI tahunan 9–17%. Sebagai perbandingan, ROI rata-rata di Bali hanya 6–8%.
Bali = stabilitas, kepastian.
Lombok = pertumbuhan, kesempatan awal.
Dua-duanya punya daya tarik, tapi profil risikonya jelas berbeda.
2. Denyut Ekonomi: Angka Tidak Pernah Berbohong
Banyak investor ragu, apakah Lombok benar-benar siap? Mari lihat datanya.
- Lombok Barat (2024): realisasi investasi Rp 1,131 triliun, melampaui target awal Rp 784 miliar.
- Mataram (2025, Q2): sudah mencapai 69,44% dari target Rp 1,7 triliun, dengan sektor konstruksi (perumahan) jadi motor utama.
Artinya, bukan hanya narasi manis. Modal sungguhan sudah masuk. Investor besar dan kecil sama-sama melihat potensi Lombok. Infrastruktur dikebut, mulai dari jalan penghubung Bandara LIA – KEK Mandalika, hingga akses ke Selong Belanak dan Gerupuk.
3. Tren Pasar: Dari Vila Mewah hingga Glamping
Seperti apa wajah properti Lombok hari ini?
- Kuta Lombok → hotspot utama, penuh vila mewah, hotel butik, dan lifestyle hub. Harga tanah $100–400/m².
- Selong Belanak → surga investasi vila, dengan tanah $50–180/m². Tapi hati-hati, sengketa lahan sering muncul di sini.
- Torok Bay → destinasi premium baru dengan pantai eksklusif, tanah $40–250/m².
- Sekotong → harga termurah ($20–100/m²), cocok untuk proyek eco-resort, glamping, atau land banking jangka panjang.
- Senggigi (Barat) → “OG tourism area” dengan pasar stabil, hotel internasional, dan rumah mulai Rp 950 juta hingga hotel Rp 135 miliar.
- Gili Islands → selalu jadi magnet turis, dengan tanah $100–500/m² dan ROI tinggi. Namun regulasi abu-abu sering bikin investor asing resah.
Polanya jelas: Lombok Selatan = pertumbuhan cepat, Lombok Barat = stabilitas, Lombok Utara = peluang niche.
4. ROI: Angka yang Membuat Mata Investor Berkilat
Di era digital, banyak yang menilai properti dari potensi sewa (Airbnb, Booking.com). Data menarik muncul:
- Listing Airbnb di Lombok Tengah (Kuta) meningkat 3x lipat sejak 2022.
- Rata-rata pendapatan tahunan Airbnb = Rp 50 juta (okupansi 26%).
- Tapi di musim puncak, okupansi bisa melesat ke 70–90%.
Inilah golden gap. Properti biasa menghasilkan angka rata-rata. Tapi properti yang dikelola profesional, punya desain modern, ramah lingkungan, dan lokasi strategis bisa menghasilkan jauh di atas rata-rata.
Investor cerdas tahu: bukan sekadar beli tanah, tapi juga bagaimana mengelola, memasarkan, dan memaksimalkan potensi.
5. Risiko yang Sering Terlupakan
Namun, jangan terbuai angka manis. Lombok punya sisi gelap yang perlu diakui.
- Legalitas & Kepemilikan
- Orang asing tidak bisa punya SHM (Hak Milik).
- Jalur resmi = lewat PT PMA dengan Hak Guna Bangunan/Pakai.
- Banyak investor jatuh ke “jebakan nominee”—pakai nama lokal, tapi berisiko kehilangan aset total.
- Sengketa Lahan
- Sertifikat ganda, klaim warisan, atau konflik sosial bisa menghentikan proyek.
- Contoh: sengketa di Selong Belanak melibatkan beberapa pihak hingga ke ranah hukum.
- Infrastruktur & Lingkungan
- Di luar hotspot, jalan, listrik, dan air masih terbatas.
- Pembangunan liar berisiko merusak alam (deforestasi, erosi pantai), yang justru menggerus daya tarik wisata.
6. Perspektif Konsumen: Lebih dari Sekadar Properti
Lombok bukan hanya soal ROI. Konsumen akhir—baik pembeli rumah maupun penyewa vila—punya suara penting.
- Pembeli lokal: bisa mengakses rumah subsidi di Tanjung Rp 158–168 juta.
- Middle-upper buyer: mencari vila dengan pemandangan laut, desain eco, harga Rp 2–3 miliar—lebih murah dibanding properti sejenis di Bali.
- Penyewa (turis/digital nomads): menginginkan keseimbangan: tempat yang lebih tenang dari Bali, tapi tetap ada komunitas dan fasilitas modern.
Dengan kata lain, Lombok bukan sekadar alternatif Bali, tapi punya identitas konsumen sendiri: eco-conscious, luxury-seekers, digital nomads.
7. Perusahaan & Developer: Jalan di Antara Peluang dan Tekanan
Bagi developer, Lombok adalah blue ocean—tapi juga penuh rintangan.
- Peluang:
- KEK Mandalika → cluster resort, sirkuit MotoGP, hotel internasional.
- Segmen eco-resort & glamping → cocok dengan tren sustainable tourism.
- Produk middle-class (housing, villa compact) → ceruk besar yang belum banyak diisi.
- Tekanan:
- Harus membangun dengan izin tata ruang yang jelas.
- Harus menjaga relasi sosial dengan masyarakat lokal agar tidak ditolak.
- Harus kreatif menawarkan konsep berbeda dari Bali (eco-luxury, slow-living, wellness tourism).
8. Pemerintah: Antara Promotor dan Regulator
Pemerintah punya dua wajah di sini: pendorong pertumbuhan sekaligus pengawas.
- Mendorong lewat KEK Mandalika, infrastruktur, dan promosi internasional.
- Tapi juga ketat dalam regulasi: tanah yang ditelantarkan bisa diambil alih.
Hal ini menciptakan dinamika yang unik. Investor asing tidak bisa sembarangan “land banking” tanpa komitmen. Ada “harga sosial” yang harus dibayar: ikut menggerakkan ekonomi lokal.
9. Kesimpulan: Lombok di Persimpangan
Lombok bukan sekadar “Bali berikutnya”. Ia adalah pasar frontier—penuh peluang, penuh risiko, penuh cerita.
- Bagi investor konservatif: Senggigi atau Kuta adalah pilihan aman, dengan stabilitas pasar dan pendapatan sewa yang konsisten.
- Bagi investor berani: Selong Belanak, Torok Bay, atau Sekotong adalah medan spekulasi jangka panjang, dengan peluang cuan besar bila dijalani dengan strategi matang.
- Bagi konsumen: Lombok adalah rumah baru dengan identitas berbeda, bukan sekadar kembaran Bali.
- Bagi pemerintah: tantangan ada pada menjaga keseimbangan antara investasi, keberlanjutan, dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Pada akhirnya, kesuksesan di Lombok tidak ditentukan oleh seberapa besar modal, tetapi seberapa cermat strategi, ketat uji tuntas, dan pintar mengelola risiko.
Karena di pulau ini, yang berani mengambil langkah pertama dengan cara benar—akan jadi pemenang di masa depan.