Trading Halt BEI 8 April 2025: 5 Kesalahan Strategis Pemerintah yang Perlu di Ketahui

Disda Hendri Yosuki
By
Disda Hendri Yosuki
Disda Hendri Yosuki adalah seorang penulis lepas yang fokus terhadap hal-hal menarik dan trend, tidak menutup kemungkinan bagi dirinya untuk menulis semua isu bahkan bisa dibilang...
6 Min Read

proestate.id – Pukul 09.00 WIB, 8 April 2025, layar terminal Bloomberg di seluruh dunia memerah.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas 9,19% dalam hitungan menit, memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI) menghentikan perdagangan (trading halt) sebuah adegan yang mengingatkan pada Black Monday 1987 atau kejatuhan pasar saham saat pandemi 2020.

Namun, ini bukan sekadar koreksi pasar biasa. Di balik angka-angka teknis, terdapat kegagalan sistemik dalam manajemen risiko ekonomi Indonesia, ketergantungan struktural pada ekspor komoditas, dan kerentanan geopolitik yang mengancam stabilitas jangka panjang.

a computer screen displaying a stock market chart

Anatomi Krisis Dari Trump Hingga Defisit Fiskal

Perang Dagang AS: Bumerang Diplomasi yang Terlambat

Kebijakan Presiden Donald Trump menaikkan tarif impor AS sebesar 32% untuk produk Indonesia bukanlah kejutan. Sejak Januari 2025, retorika proteksionisme AS terhadap negara-negara ASEAN sudah menguat.

Namun, pemerintah Indonesia terlihat abai, menganggap isu ini sebagai “negosiasi biasa”. Padahal, AS adalah tujuan 12% ekspor non-migas Indonesia, dengan tekstil dan elektronik sebagai andalan.

Di sini, kegagalan diplomasi proaktif terlihat jelas. Alih-alih membangun koalisi dengan negara ASEAN lain yang juga terdampak (seperti Vietnam dan Thailand), Indonesia terjebak dalam pola tawar-menawar bilateral yang asimetris. Padahal, kekuatan kolektif ASEAN bisa menjadi senjata diplomasi yang efektif.

APBN yang Sekarat: Bom Waktu Kebijakan Moneter 2024

Defisit APBN Rp31,2 triliun per Februari 2025 adalah konsekuensi logis dari kenaikan suku bunga BI 75 bps pada Q4 2024.

Kebijakan “shock therapy” untuk mengejar inflasi ini justru mencekik sektor riil. Penerimaan pajak yang turun 30% YoY menunjukkan kontraksi ekonomi sudah terjadi sebelum krisis pasar saham.

Isu mundurnya Sri Mulyani meski belum resmi memperparah krisis kepercayaan. Selama 7 tahun menjabat, Menteri Keuangan ini menjadi simbol stabilitas fiskal. Kepergiannya (jika benar) di tengah badai menciptakan kekosongan kepemimpinan yang berbahaya.

Predator Peringkat: Permainan Psikologis Lembaga Asing

Revisi peringkat oleh Goldman Sachs dan Morgan Stanley dari “overweight” ke “market weight” hanyalah pemicu akhir.

Sejak 2023, Indonesia sudah terjebak dalam jebakan peringkat (rating trap), di mana pertumbuhan ekonomi 5% dianggap “biasa” oleh investor global.

Ketergantungan pada aliran modal asing (yang mencapai 40% kapitalisasi pasar) membuat Indonesia rentan terhadap manipulasi sentimen oleh institusi keuangan global.

Dampaknya Bukan Harga Saham, Tapi Ekonomi

Likuiditas Mengering: Kematian Pasar Sekunder

Lonjakan volume perdagangan 240% menjadi 1,59 miliar lembar saham adalah ilusi. Ini bukan transaksi sehat, melainkan panic selling yang dipicu forced liquidation.

Ketika LQ45 jatuh 11,31%, terutama di saham blue chip seperti BBCA dan UNVR, ini pertanda investor institusi asing bisa di pastikan sedang melakukan “cut loss” massal.

Rupiah dan SUN: Krisis Kepercayaan yang Sistematis

Pelemahan rupiah ke Rp16.200/USD dan melonjaknya imbal hasil SUN 10 tahun ke 7,85% menunjukkan hilangnya kepercayaan terhadap aset rupiah.

Bank Indonesia (BI) yang intervensi dengan membeli SUN di pasar sekunder justru memperburuk persepsi tindakan ini dianggap sebagai “monetisasi utang” yang berbahaya.

Respons Kebijakan – Antara Kepanikan dan Solusi Kosmetik

Trading Halt BEI: Menutup Termometer Saat Demam

Revisi mekanisme trading halt BEI dengan batas 8% penurunan memang memberi waktu bagi investor untuk menenangkan diri.

Namun, ini ibarat menutup termometer saat demam tinggi gejalanya ditutupi, tetapi penyakitnya tak diobati.

Mekanisme circuit breaker dua kali dalam sehari malah menciptakan “efek penjara” psikologis, di mana investor terjebak antisipasi negatif.

Diplomasi Dagang: Tawaran yang Tak Setara

Paket negosiasi dengan AS (meningkatkan impor kapas AS $5 miliar/tahun dan minyak mentah 100.000 barel/hari) adalah bentuk kapitulasi.

Alih-alih memperjuangkan kepentingan eksportir tekstil, Indonesia malah membuka keran impor yang bisa membunuh industri dalam negeri.

Transfer teknologi energi terbarukan yang dijanjikan AS juga terlalu abstrak, AS sendiri masih bergantung pada bahan bakar fosil.

Stimulus UMKM Rp15 Triliun: Jaring Pengaman yang Bolong

Alokasi Rp15 triliun untuk UMKM hanya 0,1% dari PDB – terlalu kecil untuk efek signifikan.

Subsidi bunga 6% tak berguna jika perbankan memperketat penyaluran kredit akibat risiko kredit macet. Pelatihan digitalisasi juga terlambat seharusnya dilakukan saat pandemi 2020-2023.

Proyeksi Menuju Resesi atau Peluang Reformasi?

Skenario Terburuk: Krisis 1998 vs 2025

Jika IHSG terkoreksi ke 5.800 (level 2019), kita berpotensi melihat:

  • Pelarian modal asing mencapai $10 miliar
  • Rupiah melemah ke Rp18.000/USD
  • Suku bunga SUN 10 tahun tembus 10%
  • Gelombang PHK di sektor manufaktur

Namun, berbeda dengan 1998, fundamental perbankan Indonesia lebih kuat dengan CAR 25% dan NPL di bawah 3%.

Jalan Keluar: Dari Defensif ke Ofensif

Solusi jangka pendek:

  • Darurat pajak progresif: Kenakan pajak 35% untuk dividen di atas Rp1 miliar/tahun untuk meningkatkan penerimaan negara.
  • Pembatasan arus modal spekulatif: Berlakukan holding period minimal 6 bulan untuk investasi asing di SUN.

Reformasi struktural:

  • Diversifikasi ekspor non-komoditas: Genjot industri farmasi dan teknologi hijau.
  • Penguatan pasar domestik: Reformasi agraria untuk tingkatkan daya beli pedesaan.

Kesimpulan: Momentum untuk Keluar dari Zona Nyaman

Krisis IHSG 8 April 2025 harus menjadi titik balik. Indonesia tak bisa lagi mengandalkan ekspor bahan mentah dan modal asing jangka pendek.

Saatnya membangun ekonomi berbasis inovasi, dengan UMKM sebagai tulang punggung dan energi terbarukan sebagai andalan. Jika tidak, kita hanya menunggu krisis berikutnya yang lebih dahsyat.

Share This Article