proestate.id – Presiden AS Donald Trump kembali membuat gebrakan dengan mengumumkan kebijakan tarif impor baru pada 2 April 2025.
Dikenal sebagai “Liberation Day”, kebijakan ini tak hanya mengguncang pasar keuangan global, tetapi juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan.
Dengan tarif 32% untuk produk Indonesia, ancaman penurunan ekspor, PHK massal, hingga pelemahan rupiah menjadi nyata. Namun, di balik badai ini, ada peluang tersembunyi yang bisa dimanfaatkan. Bagaimana Indonesia harus bersikap?
Kebijakan “Liberation Day”: Senjata Trump yang Mengubah Peta Perdagangan
Trump menyebut kebijakan ini sebagai langkah membebaskan AS dari ketergantungan impor. Ada dua lapis tarif:
- Tarif dasar 10% untuk semua produk impor ke AS.
- Tarif timbal balik yang bervariasi, tergantung defisit perdagangan negara mitra.
Indonesia termasuk yang terkena dampak terbesar dengan tarif 32%, lebih tinggi dari Uni Eropa (20%) tetapi di bawah Tiongkok (34%) dan Vietnam (46%).
Kebijakan ini secara tak langsung “menghukum” negara dengan surplus perdagangan terhadap AS. Misalnya, Vietnam yang surplus $100 miliar di sektor perikanan dikenai tarif 46%, sementara Brasil yang defisit hanya kena 10%.
Mengapa Indonesia Dihantam 32%?
Data Kementerian Perdagangan RI mencatat, ekspor Indonesia ke AS pada 2024 mencapai $41 miliar, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik.
Angka ini membuat Indonesia masuk daftar negara dengan surplus signifikan, sehingga menjadi target tarif tinggi.
Pasar Global Kolaps: Saham Anjlok, Mata Uang Bergejolak
Reaksi pasar terhadap kebijakan Trump begitu brutal:
- Indeks saham AS mengalami penurunan terbesar sejak 2020: Dow Jones (-3.98%), S&P 500 (-4.84%), Nasdaq (-5.97%).
- Pasar Eropa dan Asia ikut terimbas: DAX Jerman (-3%), Nikkei 225 Jepang (-2.77%).
- Indeks ketakutan (VIX) melonjak 39.6%, menunjukkan kepanikan investor.
Yang mengejutkan, dolar AS justru melemah ke level terendah sejak Oktober 2024. Padahal, tarif biasanya menguatkan mata uang domestik.
Menurut analis CNN, ini terjadi karena investor khawatir kebijakan Trump akan memicu resesi global, sehingga beralih ke emas atau mata uang safe-haven seperti yen Jepang.
Indonesia di Ujung Tanduk: Ekspor Terhambat, PHK Mengintai
Dampak langsung tarif 32% terhadap Indonesia sangat serius:
Tekstil dan Alas Kaki
- 40% ekspor alas kaki Indonesia ditujukan ke AS. Dengan tarif ini, harga produk Indonesia akan lebih mahal 32% dibandingkan produsen seperti Meksiko yang hanya kena 10%.
- Jemmy Kartiwa Sastraatmaja (Ketua Asosiasi Tekstil Indonesia) memprediksi oversupply dari Tiongkok dan Vietnam akan membanjiri pasar domestik, berpotensi mematikan UMKM.
Elektronik dan Furnitur
- Perusahaan mebel di Jawa Tengah mengaku pesanan dari AS turun 50% sejak pengumuman tarif. Padahal, AS menyerap 30% ekspor furnitur Indonesia.
Dampak Sosial
- PHK massal mengancam 7.47 juta pekerja yang sudah menganggur per Agustus 2024. Sektor tekstil dan alas kaki berisiko kehilangan 200.000 lapangan kerja.
- Bhima Yudhistira (Direktur CORE) memprediksi resesi di kuartal IV 2025 jika tak ada langkah antisipasi.
Peluang di Balik Krisis: Merebut Pasar dan Diversifikasi
Meski suram, ada celah yang bisa dieksplorasi:
Ambil Alih Pasar Vietnam di Sektor Perikanan
- Vietnam, eksportir udang terbesar ke AS, kini kena tarif 46%. Ini peluang emas bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor udang dengan tarif lebih rendah (32%). Menurut Antara, Indonesia bisa menambah pangsa pasar hingga 15% jika strategi pemasaran tepat.
Genjot Pasar Domestik dan Regional
- Sektor konstruksi dan infrastruktur dalam negeri bisa jadi penyelamat. Misalnya, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menyerap 100.000 tenaga kerja.
- Ekspor ke negara ASEAN perlu ditingkatkan, mengingat tarif di kawasan ini relatif rendah.
Lobi Diplomatik
- Pemerintah Indonesia diharapkan aktif bernegosiasi dengan AS. Contohnya, menawarkan kerja sama di sektor energi terbarukan atau pertahanan sebagai “kompensasi” pengurangan tarif.
Proyeksi Jangka Panjang: Ancaman Resesi Global dan Langkah Antisipasi
JP Morgan memprediksi kebijakan Trump berpotensi memicu resesi global pada 2025. AS sendiri diproyeksikan kehilangan $660 miliar per tahun akibat kenaikan biaya impor. Michael Block (Third Seven Capital) menyebut langkah Trump sebagai “bom waktu” yang mengancam stabilitas ekonomi global.
Bagi Indonesia, langkah antisipasi yang bisa diambil antara lain:
- Insentif Fiskal untuk industri terdampak, seperti pengurangan pajak ekspor atau subsidi energi.
- Diversifikasi Pasar Ekspor ke Afrika dan Timur Tengah yang pertumbuhan ekonominya sedang naik daun.
- Peningkatan Daya Saing melalui pelatihan SDM dan adopsi teknologi industri 4.0.
Kesimpulan: Bertahan dengan Strategi Jitu
Kebijakan tarif Trump ibarat badai yang tak terelakkan bagi Indonesia. Di satu sisi, tekanan pada ekspor dan ketenagakerjaan sangat nyata. Namun, di sisi lain, krisis ini memaksa Indonesia untuk berinovasi:
mencari pasar baru, memperkuat ekonomi domestik, dan meningkatkan efisiensi produksi. Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga bangkit lebih kuat.
Seperti kata pepatah, “Di balik badai pasti ada pelangi”—asal kita mau melihat celah cahaya di tengah kegelapan.