proestate.id – Pada awal April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang langsung berdampak pada perdagangan global, termasuk penetapan tarif hingga 32% pada barang-barang impor dari Indonesia.
Kebijakan ini menjadi salah satu kebijakan ekonomi yang cukup kontroversial, dengan dampak yang bisa terasa luas, termasuk pada sektor properti di Indonesia.
Meskipun kebijakan ini tidak langsung menyasar sektor properti, dampaknya terhadap daya beli masyarakat, ketidakpastian pasar, dan kenaikan biaya konstruksi akan memberikan efek domino yang besar.
Artikel ini akan mengulas dampak kebijakan tarif ini terhadap permintaan properti lesu di Indonesia akibat trup ini.
1. Penurunan Daya Beli Masyarakat dan Dampaknya pada Pasar Properti
Salah satu dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat Indonesia adalah penurunan daya beli, terutama pada kelompok masyarakat yang bekerja di sektor-sektor yang terdampak kebijakan tarif ini.
Misalnya, sektor tekstil dan furnitur, yang memiliki koneksi erat dengan barang-barang impor, diperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan akibat lonjakan biaya produksi dan harga jual barang yang semakin mahal.
Penurunan daya beli ini akan berimbas pada kemampuan masyarakat untuk membeli atau menyewa properti.
Tidak hanya itu, penurunan pendapatan di sektor-sektor tertentu juga berpotensi menyebabkan banyak pekerja kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan gaji.
Hal ini menambah beban ekonomi masyarakat, dan dalam jangka panjang, berpotensi mengurangi minat mereka untuk berinvestasi atau membeli properti.
Dalam kondisi pasar properti yang sudah cukup ketat, penurunan daya beli akan memperlambat perputaran transaksi properti, baik itu jual beli maupun sewa, yang pada gilirannya akan menyebabkan penurunan permintaan.
Sebagai contoh, banyak pekerja di industri furnitur yang bergantung pada bahan baku impor yang kini dikenakan tarif tinggi. Ini akan menyebabkan peningkatan biaya produksi, yang pada akhirnya meningkatkan harga jual produk furnitur.
Implikasinya, selain pembeli furnitur yang lebih mahal, potensi pembelian rumah atau properti sebagai investasi juga akan terdampak. Sektor properti yang sangat bergantung pada daya beli ini akan menghadapi tekanan yang signifikan.
Dalam hal ini, kebijakan tarif Trump memperlihatkan sebuah kesalahan strategis bagi Indonesia.
Meskipun negara ini bukan sasaran langsung tarif tersebut, ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan baku dan impor barang menjadikan kebijakan ini sebagai bumerang bagi perekonomian domestik.
2. Sikap “Wait and See” yang Diperparah oleh Ketidakpastian Ekonomi
Menurut Vivin Harsanto dari JLL Indonesia, kebijakan tarif ini mendorong sikap “wait and see” di kalangan calon pembeli properti. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh tarif tersebut mempengaruhi pola pikir calon investor dan pembeli rumah.
Di tengah kekhawatiran akan inflasi yang tinggi dan dampak jangka panjang terhadap daya beli, banyak calon pembeli yang lebih memilih menunggu dan memantau situasi ekonomi terlebih dahulu, daripada segera melakukan pembelian properti.
Opini: Sikap “wait and see” ini menunjukkan betapa buruknya dampak psikologis yang ditimbulkan oleh kebijakan ekonomi yang tidak terduga.
Ketidakpastian membuat pasar cenderung lebih berhati-hati dan enggan melakukan transaksi besar, seperti pembelian properti.
Ini menciptakan lompatan besar dalam durasi transaksi, di mana pembeli menunda keputusan dan membuat siklus pasar menjadi semakin lambat.
Bahkan jika sektor properti tidak langsung terkena tarif tersebut, ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh volatilitas harga barang-barang dan perkiraan resesi mempengaruhi psikologi pasar properti.
Penundaan keputusan pembelian ini sangat mempengaruhi sektor perumahan yang sudah cukup tertekan dengan tingkat suku bunga yang tinggi.
3. Dampak Pada Kenaikan Harga Konstruksi dan Harga Properti
Sektor properti Indonesia mungkin tidak langsung dikenakan tarif, namun kebijakan tarif Trump berpotensi memperburuk biaya konstruksi.
Kenaikan harga bahan bangunan, yang disebabkan oleh tarif impor pada material tertentu, bisa memicu kenaikan harga properti.
Hal ini semakin diperburuk oleh depresiasi rupiah akibat kebijakan tarif ini, yang membuat biaya bahan bangunan dan komponen properti lainnya semakin mahal.
Sebagai contoh, tarif pada bahan konstruksi seperti baja dan semen yang banyak diimpor ke Indonesia akan mengarah pada kenaikan biaya proyek konstruksi, yang pada gilirannya meningkatkan harga jual properti.
Dampak ini jelas mengurangi daya tarik pasar properti bagi konsumen kelas menengah yang lebih sensitif terhadap harga.
Dengan harga properti yang semakin mahal, banyak pembeli potensial yang akan kesulitan untuk membeli rumah, apalagi dengan kondisi suku bunga KPR yang tinggi.
Opini: Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kenaikan harga barang, pasar properti di Indonesia seakan dipaksa untuk memikul beban ganda: kenaikan biaya bahan bangunan yang meroket dan daya beli yang menurun.
Kebijakan tarif ini menambah kompleksitas bagi sektor properti yang sudah dibebani oleh kondisi ekonomi global dan inflasi domestik.
4. Perubahan Perilaku Konsumen: Pengaruh terhadap Pasar Sewa dan Pembelian Properti
Berkaitan dengan penurunan daya beli dan ketidakpastian ekonomi, banyak konsumen yang memilih untuk menunda pembelian rumah baru atau beralih ke opsi sewa.
Konsumen yang sebelumnya berencana membeli rumah baru mungkin merasa lebih aman dengan menyewa rumah terlebih dahulu.
Perubahan perilaku ini akan mempengaruhi pasar sewa yang cenderung akan mengalami peningkatan permintaan, meskipun harga sewa rumah juga berpotensi ikut naik akibat kenaikan biaya konstruksi.
Namun, pasar sewa tidak sepenuhnya kebal dari dampak tarif ini. Peningkatan biaya hidup dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang untuk biaya sewa, meskipun permintaan rumah sewa bisa meningkat sementara waktu.
Perubahan perilaku ini akan menciptakan pergeseran jangka pendek yang lebih mengarah pada pasar sewa. Namun, dalam jangka panjang, pasar properti akan tertekan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk membeli properti, yang akan memperlambat pertumbuhan sektor properti di Indonesia.
Kesimpulan: Tantangan dan Peluang dalam Pasar Properti Indonesia
Secara keseluruhan, kebijakan tarif Trump 2025 dapat menciptakan ketidakpastian yang serius bagi sektor properti Indonesia.
Meskipun sektor properti tidak langsung terkena dampaknya, penurunan daya beli masyarakat, sikap “wait and see” yang berkembang di kalangan calon pembeli, dan kenaikan biaya konstruksi akibat tarif baru ini dapat memperlambat pertumbuhan pasar properti Indonesia.
Kenaikan harga properti yang terjadi akibat peningkatan biaya bahan baku akan membuat pasar properti semakin kurang terjangkau.
Namun, tantangan ini juga membuka peluang bagi investor jangka panjang yang mampu beradaptasi dengan pergeseran pasar dan strategi baru.
Pendekatan yang lebih berfokus pada diversifikasi investasi, pemanfaatan teknologi, dan adaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen akan menjadi kunci bagi pemangku kepentingan di sektor properti.