proestate.id – 2 April 2025, dunia perdagangan global memasuki babak baru dengan diumumkannya kebijakan ekonomi kontroversial oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Kebijakan ini, yang disebut sebagai “Liberation Day”, diklaim sebagai langkah strategis untuk membebaskan AS dari ketidakseimbangan perdagangan dengan negara-negara lain.
Namun, banyak pihak melihatnya sebagai awal dari Perang Dagang Jilid II, yang dapat mengguncang pasar global dan berimbas langsung pada perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Apa Itu ‘Liberation Day’ 2025?
Menurut laporan Vibiznews (2025), ‘Liberation Day’ adalah kebijakan ekonomi yang mencakup serangkaian tarif baru terhadap negara-negara yang memiliki defisit perdagangan signifikan dengan AS.
Kebijakan ini mencerminkan proteksionisme ekonomi yang semakin agresif dari pemerintahan Trump, yang sebelumnya juga menerapkan kebijakan serupa pada 2018-2019 terhadap China.
Beberapa poin utama dari kebijakan ini meliputi:
✅ Tarif baru terhadap barang impor dari negara-negara dengan surplus perdagangan besar terhadap AS (termasuk China, Meksiko, Jerman, dan Jepang).
✅ Sanksi terhadap perusahaan yang dianggap melakukan “praktik perdagangan tidak adil” menurut standar AS.
✅ Kebijakan insentif besar-besaran untuk industri manufaktur AS guna mengurangi ketergantungan pada impor.
Dampak Global: Pasar Keuangan dan Ekonomi Dunia Bergejolak
Kebijakan ini langsung menggemparkan pasar global. Menurut laporan CNBC Indonesia (2025), pasar keuangan global mengalami volatilitas tinggi, dengan indeks saham utama di AS, Eropa, dan Asia mengalami penurunan drastis setelah pengumuman tersebut.
Beberapa dampak signifikan yang terjadi:
- Dolar AS menguat secara agresif, menyebabkan tekanan besar pada mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
- Harga saham perusahaan ekspor besar anjlok, khususnya di sektor teknologi, otomotif, dan manufaktur.
- Pasar kripto mengalami penurunan tajam, dengan Bitcoin dan Ethereum turun lebih dari 15% dalam sehari akibat kepanikan investor.
3. Dampak Langsung ke Indonesia: Rupiah Terpuruk, Investor Panik
Indonesia termasuk salah satu negara yang terdampak langsung oleh kebijakan ini. Berdasarkan data Trading Economics (2025), nilai tukar USD/IDR melonjak dari Rp16.531 menjadi Rp16.800 dalam sehari, menandai pelemahan signifikan mata uang nasional.
Mengapa Rupiah Melemah?
- Kapitalisasi pasar modal Indonesia mengalami outflow besar-besaran, dengan investor asing menarik dana mereka dari pasar saham dan obligasi.
- Ketergantungan Indonesia pada impor bahan baku dari China dan AS membuat harga barang naik secara signifikan.
- Sektor ekspor Indonesia terpukul, terutama di industri tekstil, otomotif, dan elektronik yang banyak mengandalkan pasar AS.
4. Pasar Modal Indonesia: Rekor 15 Juta Investor, tapi Bagaimana Dampaknya?
Sebelum kebijakan ini diumumkan, pasar modal Indonesia sedang dalam tren positif. Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), jumlah investor di pasar modal mencapai 15 juta Single Investor Identification (SID) pada Januari 2025 rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Namun, dengan guncangan yang terjadi akibat Liberation Day, pertumbuhan ini berisiko mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran. Beberapa risiko yang muncul:
- Investor asing menarik dana, menyebabkan IHSG berpotensi turun tajam.
- Likuiditas pasar terganggu, membuat saham perusahaan-perusahaan berbasis ekspor mengalami tekanan jual.
- Obligasi pemerintah dan korporasi mengalami kenaikan yield, yang bisa memperburuk defisit anggaran.
Kebijakan Ekonomi Indonesia: Haruskah Kita Khawatir?
Pemerintah Indonesia telah mengambil sejumlah langkah untuk meredam dampak dari kebijakan Trump ini. Menurut laporan Kementerian Keuangan RI (2025), beberapa strategi yang dilakukan antara lain:
- Intervensi pasar oleh Bank Indonesia (BI) untuk menjaga stabilitas rupiah.
- Percepatan hilirisasi industri dalam negeri, terutama di sektor minerba dan manufaktur.
- Negosiasi dagang dengan negara mitra lain (terutama ASEAN, Uni Eropa, dan Timur Tengah) untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
- Peningkatan insentif bagi investor domestik guna menjaga arus modal tetap stabil.
Namun, ada pertanyaan besar yang muncul: Apakah strategi ini cukup untuk menghadapi dampak jangka panjang dari ‘Liberation Day’?
Bagaimana Posisi Indonesia di Tengah Perang Dagang Jilid II?
Sejarah menunjukkan bahwa perang dagang sebelumnya (2018-2019) antara AS dan China berdampak besar terhadap ekonomi global. Kali ini, dengan pendekatan yang lebih luas dan agresif, Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan ekonomi.
Menurut Bright Institute (2025), ada beberapa skenario yang bisa terjadi:
- Skenario Optimis: Indonesia bisa memanfaatkan situasi ini dengan menggandeng lebih banyak investor dari China dan Eropa, yang mencari pasar alternatif setelah tarif AS meningkat.
- Skenario Moderat: Perekonomian tetap stabil tetapi pertumbuhan melambat, dengan pemerintah harus terus melakukan subsidi dan insentif untuk menjaga daya beli masyarakat.
- Skenario Buruk: Jika perang dagang semakin meluas, Indonesia bisa mengalami resesi ekonomi akibat kapitalisasi pasar yang menyusut, inflasi yang tinggi, dan penurunan ekspor signifikan.
Kesimpulan: Strategi yang Harus Ditempuh Indonesia
Kebijakan ‘Liberation Day’ 2025 adalah langkah kontroversial yang dapat mengguncang ekonomi global dan Indonesia harus bersiap. Beberapa strategi yang perlu diperkuat meliputi:
- Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-AS, seperti Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.
- Penguatan ekonomi domestik, terutama di sektor manufaktur dan hilirisasi industri.
- Mempercepat digitalisasi dan transformasi ekonomi, agar Indonesia tidak hanya bergantung pada ekspor barang fisik, tetapi juga jasa dan teknologi.
- Meningkatkan daya tahan sektor keuangan, dengan memastikan kebijakan moneter dan fiskal tetap fleksibel dalam menghadapi volatilitas pasar global.
Indonesia harus beradaptasi dengan cepat dan mengambil langkah proaktif agar bisa tetap bertahan di tengah ketidakpastian global ini.